Artikel & Opini

Phobia Covid-19, Money Politic & BC: Potensi Kerawanan Pilkada

Oleh: Elfahmi Lubis

Intrik dan diksi politik menjelang masa kritis pencalonan pasangan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/walikota di kontestasi Pilkada 2020, semakin hari semakin menghangat. Saling serang antar tim sukses dan pendukung bakal calon kandidat gubernur ramai menghiasi media sosial. Seluruh sisi positif balon yang didukung dieksploitasi ke ruang publik dengan harapan mampu memberi insentif elektabilitas. Sebaliknya juga, sisi negatif balon gubernur juga dieksploitasi sedemikian rupa dan terkadang menjurus pada black campaign, dengan tujuan mendegradasi balon tersebut secara moral maupun politik di mata publik.

Saya sendiri berpendapat, hal-hal seperti itu masih bisa ditolerir sepanjang “pertengkaran elit” dan “kegaduhan tim sukses” tidak sampai membakar sumbu api konflik horizontal ke massa akar rumput. Namun begitu, saya berpendapat berpolitik dengan cara-cara yang santun dan elegan jauh lebih baik, karena cara ini mampu meminimalisir potensi konflik di tengah masyarakat. Pesta demokrasi seperti Pilkada selayaknya dibuat gembira dan menyenangkan, bukan sebaliknya menimbul kecemasan, ketakutan, dan rasa mencekam di masyarakat. Terlalu mahal akibat yang akan ditimbulkan, jika Pilkada menimbulkan pertumpahan darah dan konflik antar masyarakat grassroot.

Sejauh pengamatan saya, kondisi keamanan dan ketertiban (Kamtibmas) menjelang Pilkada 2020 di Propinsi Bengkulu, masih sangat kondusif. Namun begitu bukan berarti kondisi ini tidak menimbulkan potensi kerawanan. Upaya pencegahan dan peran aktif masyarakat dan elit politik untuk membuat suasana yang kondusif tetap menjadi perhatian utama. Apalagi Pilkada kali ini, masyarakat dan bangsa kita sedang dalam kondisi berjuang melawan pandemi Covid-19, yang sampai hari terus menunjukkan tren yang semakin mengkuatirkan. Dampak yang paling terasa adalah lumpuhnya sektor usaha dan ekonomi masyarakat. Secara psikologi kondisi masyarakat yang “kalut” dan penuh ketidakpastian seperti ini, dalam teori konflik dan konspirasi mudah sekali terprovokasi untuk melakukan hal-hal yang destruktif. Untuk itu sekali lagi kita berharap komitmen semua pihak, untuk menciptakan suasana menjelang Pilkada yang kondusif.

Dalam pengamatan saya ada beberapa potensi kerawanan dalam Pilkada 2020. Pertama, muncul ketakutan yang berlebihan dari masyarakat akan keselamatan dan kesehatan mereka terhadap ancaman penularan Covid-19. Harus kita akui saat ini suasana kebatinan masyarakat kita dalam kondisi penuh kecemasan terhadap penularan Covid-19. Saban hari tren peningkatan kasus penularan Covid-19 semakin meningkat, di tengah kondisi gegap gempita masyarakat kita yang cenderung abai dengan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Masyarakat menganggap adaptasi kebiasaan baru yang sebelumnya dikenal dengan istilah new normal (belakangan ini istilah ini diganti adaptasi kebiasaan baru), sebagai kondisi kembali normal seperti sebelum adanya pandemi Covid-19.

Akibatnya, sebagian besar masyarakat abai dengan protokol pencegahan. Dalam konteks ini, Pilkada dipahami oleh masyarakat adalah kondisi yang identik dengan suasana gegap gempita dan mengumpulkan massa. Sehingga ada kekuatiran di tengah masyarakat bahwa Pilkada bisa menjadi ancaman cluster baru penyebaran Covid-19. Walaupun kita tahu dalam proses tahapan Pilkada, pihak penyelenggara telah menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Namun suasana kekuatiran masyarakat masih tetap tinggi, dan oleh sebab itu kondisi ini akan menjadi potensi tingginya angka Golput dalam Pilkada 2020.

Kekuatiran akan rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 sebagai akibat ancaman pandemi Covid-19, sebenarnya telah banyak menjadi perhatian dan warning dari semua pihak. Namun kita berharap semua komponen masyarakat daerah ini, baik pemerintah, penyelenggara, maupun masyarakat itu sendiri mampu menyakinkan masyarakat bahwa Pilkada 2020 aman dari penyebaran Covid-19.

Kedua, praktik money politics. Praktik yang diibaratkan kayak “kentut” karena menyebarkan bau menyengat tapi ketika ditanya dari mana asal bau itu tak ada satu pun yang mau mengakui. Begitulah kira-kira saya menganolagikan praktik money politics. Dalam setiap Pilkada praktik money politics kasat di depan mata bahkan sudah cenderung terang-terangan, namun kita semua sepertinya dibuat tidak berdaya untuk mengamputasi kejahatan politik ini.

Pilihan sistem Pilkada langsung di satu sisi memberi ruang demokrasi dan partisipasi politik rakyat, namun di sisi lain telah menjadikan perhelatan demokrasi seperti Pilkada menjadi ajang transaksional politik. Bukan rahasia umum lagi modal utama untuk memenangkan kontestasi Pilkada adalah isi tas bukan kapasitas. Siapa yang paling tebal isi tas hampir dipastikan memenangkan kontestasi. Rakyat benar-benar telah diracuni praktik ini setidaknya dalam 10 tahun Pilkada langsung belakangan ini.

Tali kekerabatan dan kekeluargaan sebagai ekologi sosial paling tua dalam sistem sosial masyarakat kita menjadi kehilangan makna dan rohnya sejak merebak praktik money politics ini. Ikatan darah dan biologis luntur, seluruhnya diukur dengan berapa anda berani bayar suara saya. Akibat praktik MP ini tatanan guyub, gotong royong, dan kekeluargaan sebagai sistem sosial masyarakat kita mulai merenggang dan semuanya diukur dalam hukum simbiosis mutualisme, take and give, dan apa mendapatkan apa.

Dalam banyak kasus praktek MP telah menjadi salah satu penyebab munculnya potensi kerawanan dan konflik di masyarakat dalam setiap Pilkada. Oleh sebab itu dalam Pilkada 2020 ini, pihak penyelenggara pemilu terutama Bawaslu sebagai lembaga yang diberikan otoritas dalam pengawasan praktik money politics, untuk bisa melakukan pengawasan ketat dan upaya pencegahan dini terhadap praktik kotor ini. Selanjutnya, kepada masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan partisipatif untuk mencegah terjadinya praktek MP pada saat Pilkada nanti.

Ketiga, kampanye hitam (black campaign) baik yang dilakukan oleh tim sukses dan pendukung pasangan calon. Mulai dari penyebaran berita hoax, fitnah, dan ujaran kebencian yang berbau SARA. Dalam kondisi masyarakat tuna dan tingkat melek politik yang rendah, praktek ini cukup ampuh menjadi pemantik api konflik horizontal antar masyarakat di akar rumput. Dalam banyak kasus, banyak sekali konflik Pilkada disebabkan oleh hoax, kampanye hitam, dan ujaran kebencian. Untuk itu kepada seluruh komponen mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum, penyelenggara Pemilu, dan tokoh masyarakat untuk memberikan atensi yang tinggi dalam pencegahan praktek ini selama tahapan Pilkada berlangsung.

*Penulis adalah Dewan Pakar Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Bengkulu

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button