Artikel & OpiniHukum & Politik

Makna Judicial Order Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Dengan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO)

Oleh : Findo Joyo Mulyo

Mahasiswa Semester 5 Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

 MK menjalankan kewenangannya berdasarkan Pasal 24C ayat (1) yakni termasuk memutus Pengujian Undang-Undang terhadap Undang –Undang Dasar 1945. MK dalam menguji suatu norma dalam undang-undang bersifat final dan mengikat. baik dalam pengujian Materiil dan Formil atas suatu bagian atau keseluruhan dari Undang-undang. Berdasarkan karakteristik putusan MK, terdapat putusan yang menyatakan norma dari bagian Undang-Undang bertentangan dengan Konstitusi, dan batal demi hukum (null and void).

MK dalam menjalankan fungsi sebagai penjaga konstitusionalitas suatu undang-undang, beberapa putusan MK mempunyai dampak yang signifikan bahkan tak jarang menjadi perhatian MK dari negara lain. Dalam putusan null and void terdapat judicial order yang seharusnya dipatuhi dan dilaksanakan baik oleh para pihak maupun warga negara. Secara Rinci Pasal 56 UU MK terdapat 3 macam bentuk yakni amar dikabulkan, ditolak bahkan tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (NO).

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dengan amar tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (NO) pada umumnya tidak memiliki pertimbangan hukum. Akan tetapi dalam perkembangannya MK memberikan pertimbangan hukum baik mengenai pokok perkara dan kedudukan hukum Pemohon.

Putusan dengan amar Tidak Dapat Diterima yang memuat judicial order selalu berkaitan dengan implementasi putusan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. MK menegaskan kembali sifat final dan binding Putusan MK serta sifat putusan MK yang declatoir konstitutif melalui putusan a quo. Karakteristik judicial order dalam ketiga a quo adalah ketika MK memberikan peringatan konstusional secara bertahap.

Hal demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK diatur tentang amar putusan yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima, yaitu ”dalam hal MK berpendapat bahwa Pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Demikian pula pada Pasal 36 huruf a Peraturan MK (PMK) Nomor 06/PMK/2005 yang berbunyi “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima”, dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (1) UU.

Aspek hukum acara MK telah jelas bahwa putusan NO dijatuhkan apabila pemohon atau pokok perkara tidak memenuhi ketentuan hukum acara. Untuk perkara demikian dapat langsung diputus dengan amar putusan tidak dapat diterima. Dalam praktik, beberapa perkara yang diputus setelah pemeriksaan pendahuluan tanpa melalui pemeriksaan persidangan pada umumnya karena Pemohon tidak dapat membuktikan adanya kerugian konstitusional yang diderita akibat ketentuan undang-undang yang dimohonkan. Di sisi lain terdapat pula perkara-perkara yang aspek legal standing-nya baru dapat diketahui setelah memeriksa pokok perkara. Oleh karena itu, terdapat perkara yang walaupun telah memasuki pemeriksaan persidangan tetapi amar putusannya tidak dapat diterima.

Sepanjang tahun 2003-2019 MK telah mengeluarkan putusan niet ontvankelijk verklaard sebanyak 345 putusan. Dari jumlah tersebut setidaknya dapat dikategorisasikan dalam tiga kelompok, Pertama putusan tidak dapat diterima tanpa pertimbangan hukum. Kedua, putusan tidak dapat diterima dengan pertimbangan hukum (prima facie). Ketiga, putusan tidak dapat diterima dengan pertimbangan hukum dan memuat judicial order. Klasifikasi varian putusan  NO sangat penting untuk menemukan pesan esensial dalam setiap putusan yang disampaikan oleh MK dalam merespon substansi permohonan Pemohon.

Salah satu putusan yang menggunakan pertimbangan prima facie dimana untuk menentukan kedudukan hukum Pemohon dipertimbangkan bersama pokok perkara. Disamping itu, terdapat hal menarik lainnya, yaitu substansi atau pesan esensial yang disampaikan oleh MK dalam mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon. Putusan tersebut menunjukkan standing position MK dalam menjabarkan bagaimana idealnya sebuah putusan direspon dan dijalankan oleh setiap addressat (pelaksana) putusan.

Judicial order pada dasarnya terdapat dalam putusan yang menyatakan norma tidak sesuai dengan konstitusi yang mengharuskan legislatif selalu untuk memperbaiki norma yang telah dibatalkan. Judicial order bersifat implisit dan pengadilan jarang memberikan instruksi eksplisit. Dikarenakan muatan dari perintah tersebut berupa saran atau dorongan agar legislator mempertimbangkan aspek-aspek tertentu untuk perubahan norma yang diminta.

Judicial order merupakan pesan penting bagi pembentuk undang-undang di masa depan. Secara yuridis, meskipun hanya deklaratif, putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang memiliki sifat konstitutif, baik berupa pembentukan norma hukum baru maupun yang meniadakan satu norma hukum dalam ketentuan undang-undang yang diuji. Meskipun sebenarnya dalam ketentuan MK sebenarnya hanya memiliki kewenangan untuk membatalkan suatu norma dari Undang-Undang yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

Dengan adanya judicial order dalam putusan-putusan MK terdiri dampak jangka pendek dan jangka panjang pada badan legislatif. Karakteristik dari putusan yang bermuatan judicial order ini secara langsung menimbulkan efek kepada pemerintah (eksekutif) meskipun secara tidak langsung terlihat bahwa yang berhubungan langsung dengan putusan tersebut adalah legislasi. Oleh karena itu makna dari judicial order dalam putusan yaitu memberikan penekanan untuk dilaksanakan oleh legislatif, dan berfungsi sebagai sarana kontrol terhadap kepatuhan konstitusi. Dengan kata lain secara tidak langsung putusan MK mempengaruhi pergerakan politik dan  Proses legislatif .

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button