Artikel & Opini

Antara Takut China atau Cinta Perdamaian

Oleh : Ketut Agil Priya Satvika

Natuna memiliki luas laut mencapai 99 persen dari total luas wilayahnya. Selain luas, laut Natuna juga memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Potensi sumber daya ikan laut Natuna pada 2011 sebesar 504.212,85 ton per tahun atau sekitar 50 persen dari potensi Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP RI) 711 di Laut Natuna. Dengan sumber daya ikan yang berlimpah dan belum banyak dimanfaatkan, negara mana yang gak mau mengklaim kepemilikan Pulau tersebut. Diawali dari Malaysia yang ikut-ikutan kembali mengklaim wilayah perbatasan seperti yang telah terjadi pada kasus Sipadan dan Ligitan, Kemudian disusul konflik dengan China yang sampai saat ini masih sering terjadi. China mengklaim bahwa Natuna masuk dalam Sembilan Titik atau Nine Dash Line China. Namun sampai saat ini peta tersebut tidak sah sebagai perbatasan teritorial karena tidak sesuai dengan hukum internasional. Sedangkan Indonesia telah memiliki UNCLOS 1982 dan ASEAN membuat Code of Conduct (COC) antara Indonesia dan China. Akan tetapi hal itu semua belum menyurutkan aktivitas China di perairan Pulau Natuna.

Pada tanggal 19 Desember 2019, kapal penangkap ikan milik Cina telah melewati perairan di sekitar pulau Natuna. Kapal-kapal China yang masuk dinyatakan telah melanggar ZEE Indonesia dan melakukan kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing. Selain itu, Coast Guard China juga dinyatakan melanggar kedaulatan di perairan Natuna. Tidak sampai situ saja, kapal-kapal itu mengancam akan menabrak kapal asal negara Indonesia saat berpapasan dengan cross guard China. Akibatnya, banyak nelayan Indonesia yang tidak berani melaut. Meskipun Indonesia sudah memperingatkan China untuk mundur dari perairannya dengan mengerahkan empat kapal perang dan memperkuat armada angkatan udara dan angkatan lautnya di wilayah sengketa. Tetapi hal tersebut belum menyuruti niat aktivitas China di perairan Pulau Natuna. Sebenarnya pihak Indonesia bisa saja mengadukan dan mengusut masalah tersebut ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bilamana benar terjadi penabrakan yang membuat rasa tidak nyaman di perairan Pulau Natuna tersebut. Pihak Indonesia memiliki hak kuat untuk mengusut masalah tersebut ke PBB. Setidaknya, ada 2 hukum internasional yang dilanggar. Pertama, International Regulations for Preventing Collisions at Sea (COLREGS) 1972 tentang Peraturan Internasional untuk Mencegah Tabrakan di Laut. Kedua, International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974 tentang Konvensi Internasional untuk Keselamatan Kehidupan di Laut. Selain itu, memang benar perairan pulau Natuna merupakan wilayah padat lalu lalang kapal akan tetapi hanya Indonesia yang mempunyai hak ekslusif untuk memanfaatkan hasil lautnya sesuai hukum internasional United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982.

Hal ini bukan kali pertama China memasuki di wilayah perairan Natuna. Pada 2016 silam, Indonesia juga harus memperkuat sistem pertahanan di sekitar kepulauan tersebut setelah mengetahui armada perikanan dan kapal penjaga pantai Cina memasuki perairan Indonesia. Bahkan, Presiden Joko Widodo atau kerap disapa “Jokowi” sampai mengadakan rapat kabinet di atas kapal perang untuk menunjukkan sikap Indonesia. Dalam rapat tersebut, Bapak Presiden Jokowi meminta Angkatan Laut Indonesia untuk meningkatkan patroli dan meningkatkan pertahanan militer Indonesia. Meskipun China akhirnya memutuskan untuk mundur pada 2016, tetapi menurut saya hal tersebut masih belum tuntas dan ada beberapa kemungkinan untuk China melakukan hal itu kembali. Melihat sikap Indonesia mengenai permasalahan di perairan natuna tersebut, banyak pihak yang beranggapan bahwa Indonesia tidak tegas menyelesaikan permasalahan itu atau mungkin Indonesia takut terhadap China. Mengenai hal itu, perlu ditelusuri lebih lanjut penyebab-penyebab sikap dari pihak Indonesia.

Menurut saya bahwa keputusan Indonesia untuk tidak memperkuat kekuatannya secara signifikan atau membangun koalisi untuk melawan kekuatan China yang semakin besar meningkat di Laut Cina Selatan didorong oleh budaya militer Indonesia yang fokus pada ancaman domestik. Hal ini diperkuat pada fakta sejak tahun 1965 adanya konflik internal yang memanas karena adanya dinamika sosial, budaya, primordial, etnis, ras dan agama. Militer percaya hal ini dapat memicu gerakan separatis seperti yang terjadi di Arab dan perang saudara di Irak, Afghanistan, Libya dan Suriah.

Sejak saat itu, militer lebih percaya bahwa segala ancaman terhadap Indonesia datang dari dalam lewat kelompok-kelompok internal, bukan invasi militer yang datang dari luar. Budaya militer inilah yang telah mengubah persepsi Indonesia tentang ancaman. Hal ini menyebabkan Indonesia mengeluarkan lebih banyak anggaran untuk tentara angkatan darat dibandingkan angkatan laut dan udara, meskipun keberadaan angkatan udara dan laut yang kuat akan jauh lebih efektif dalam mencegah ancaman dari negara-negara luar.

Kemudian alasan pihak Indonesia untuk tidak bergerak lebih keras untuk menyikapi pergolakan di perairan china adalah karena Indonesia yakin China adalah negara yang bersahabat dan Indonesia tidak akan menghancurkan hubungan baik yang telah berlangsung lama antara China dengan Indonesia. Dengan begitu, Indonesia ingin menegakkan perdamaian antar bangsa-bangsa dengan meminimalisasikan pertikaian antar bangsa. Akan tetapi saya rasa, jika sudah kelewat batas, pihak Indonesia perlu mengambil sikap tegas yang bersikap final untuk mengakhiri pertikaian. Karena hal itu semua menyangkut kedaulatan negara, tidak mungkin kita akan kehilangan teritorial kita kembali.

Hal yang menjadi sorotan utama untuk menjadi pertimbangan Indonesia menyikapi pertikaian di perairan Natuna ialah China merupakan Salah satu negara yang menjadi penyumbang investasi terbesar ke Indonesia. Berdasarkan data terkait pencapaian realisasi investasi sepanjang 2019, China menjadi negara terbesar kedua. Selain itu, pada periode Triwulan IV tahun 2019, negara tersebut juga menjadi negara asal investasi terbesar. Selain itu Indonesia ialah pengimpor barang tertinggi asal China yang ditunjukkan dengan banyaknya beredar produk-produk bertuliskan made in China di Indonesia. Hal inilah yang membuat Indonesia berpikir dua kali untuk bertikai dengan China dan lebih mendorong ke jalan perdamaian.

Oleh karena itu, perlu kita support selalu keputusan-keputusan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia selagi masih berpihak kepada kesejahteraan rakyat Indonesia dan kedaulatan Negara Indonesia. Tetapi mengingat masalah mengenai kasus Sipadan dan Ligitan yang pernah terjadi sebelumnya, pihak Indonesia perlu menegaskan kedaulatannya di perairan Natuna. Setidaknya, Indonesia harus segera mengakhiri dan mengusut masalah-masalah yang terjadi di perairan Natuna secara legal karena Indonesia memiliki hak kuat untuk memenangi pertikaian tersebut. Akan tetapi, jika China tetap terus membuat masalah dan terus menganggu kedaulatan negara Indonesia, sebaiknya pihak Indonesia harus menyikapi hal tersebut dengan mengakibatkan efek jera terhadap China sehingga China tidak lagi membuat masalah di perairan Natuna.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button