Artikel & Opini

Hakim Mahkamah Konstitusi Mendapatkan Penghargaan Dari Pemerintah

Oleh : Annisa Baiduri

Mahasiswi fakultas hukum UNIB

Pada Rabu, 11 November 2020, Presiden Joko Widodo memberikan penghargaan gelar tanda jasa dan kehormatan kepada 68 tokoh nasional. Salah satu tokoh yang menerima tanda jasa dan kehormatan tersebut mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmanto. Selain itu, tanda jasa dan kehormatan juga akan diberikan kepada para mantan menteri Kabinet Kerja pada periode lalu. Di antaranya mantan Menteri ESDM Ignasius Jonan, mantan Menkominfo Rudiantara, mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti dan mantan Menko PMK Puan Maharani.

            Enam hakim yang diberikan penghargaan tersebut adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Aswanto yang menerima Bintang Mahaputera Adiprana, kemudian tiga hakim lainnya yakni Wahiddun Adams, Suhartoyo, dan Manahan MP Sitompul menerima Bintang Mahaputera Utama. Sebagai informasi, Ketua MK Anwar Usman menjabat Ketua MK periode 2018-2021. Wakil Ketua MK Aswanto menjalani tugas untuk periode 2018-2021 dan menjabat Hakim Konstitusi periode 2019-2024. Sedangkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjabat Ketua MK periode 2015-2018 dan Hakim Konstitusi  periode 2018-2023. Selanjutnya, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjabat Hakim Konstitusi periode 2014-2019 dan 2019-2024. Berikutnya. Hakim Konstitusi Suhartoyo menjabat Hakim Konstitusi periode 2015-2020 dan 2020-2025. Kemudian Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menjabat Hakim Konstitusi periode 2015-2020 dan 2020-2025.

            Pemberian penghargaan ini seolah menjadi rangkaian hadiah ke MK oleh Presiden setelah UU MK, pemberian tanda kehormatan dan jasa telah diatur dalam Undang Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 15. Hal itu juga dijabarkan dalam UU Darurat Nomor 5 Tahun 1959. Gelar kehormatan tersebut diberikan dalam upacara penganugerahan tanda jasa dan tanda kehormatan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (11/11/2020). Total, ada 71 pejabat negara/mantan pejabat negara Kabinet Kerja 2014-2019 serta ahli waris dari para tenaga medis dan tenaga kesehatan yang gugur dalam menangani Covid-19 yang mendapat Bintang Mahaputera dan bintang jasa. Tanda kehormatan ini diberikan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 118 dan 119/TK/TH 2020 tertanggal 6 November 2020.

Pada pasal 28 ayat 2 disebutkan bahwa syarat khusus untuk Bintang Mahaputera antara lain berjasa luar biasa di berbagai bidang yang bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan negara. Pengabdian dan pengorbanannya di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan beberapa bidang lain yang besar manfaatnya bagi bangsa dan negara, dan/atau darmabakti dan jasanya diakui secara luas ditingkat nasional dan internasional.

            Salah satunya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang mendapat penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana mengatakan “Penghargaan yang kami terima merupakan buah kerja dan dukungan dari Bapak Sekjen MK beserta staf, Bapak Panitera MK beserta staf, para pejabat struktural dan fungsional MK maupun dukungan seluruh keluarga besar Mahkamah Konstitusi. Termasuk juga dukungan para Yang Mulia Hakim Konstitusi. Inilah buah dari kerja sama kita selama ini. Berkah dari kesabaran,” sebagaimana dilansir website MK, Rabu (11/11/2020). Wakil Ketua MK Aswanto juga mendapat penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana. Aswanto memaknai penghargaan tersebut bahwa dirinya harus benar-benar bekerja secara profesional dalam menjaga konstitusi. “Penghargaan yang kami peroleh dimaknai bahwa kami tidak boleh kendor menjaga Konstitusi dengan baik, melindungi hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Konstitusi,” ucap Aswanto.

            Sedangkan Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah, yang mewakili segenap keluarga besar MK menyampaikan ucapan selamat dan rasa syukur kepada Tuhan bahwa enam hakim konstitusi telah mendapat penghargaan dari pemerintah. “Kami bangga dengan pencapaian yang diperoleh dari para hakim konstitusi yang menerima penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana dan Bintang Mahaputera Utama sebagai penghargaan tertinggi dari negara. Penghargaan tersebut merupakan hal yang luar biasa dan menjadi kehormatan bagi kita semua sebagai pegawai, merasa bahagia, suka cita atas pencapaian tersebut. Ini adalah yang pertama kali bahwa di masa jabatan, Yang Mulia Hakim Konstitusi mendapat kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana dan Bintang Mahaputera Utama,” ungkap Guntur.

            Meskipun dianggap penuh jasa ternyata ada beberapa pihak yang tidak setuju dengan pemberian penghargaan kepada hakim ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendorong enam hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengembalikan penghargaan Bintang Mahaputera yang diberikan Presiden Joko Widodo pada Rabu lalu karena penghargaan tersebut dinilai sebagai bentuk intervensi Jokowi terhadap independensi kehakiman di MK. Apalagi, Jokowi tengah menjadi pihak yang digugat terkait UU Cipta Kerja dan juga penghargaan Bintang Mahaputera kepada enam hakim MK ini semakin menguatkan kecurigaan publik terhadap revisi kilat UU MK beberapa waktu lalu yang memperpanjang masa jabatan hakim MK dan tindakan Jokowi ini dinilai telah melanggar TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa khususnya, terkait etika politik dan pemerintah.

Apalagi ternyata ada salah satu dari enam hakim yang menerima penghargaan yaitu Hakim Arief Hidayat sebelumnya sempat dua kali dikenai sanksi. Pada 2018, Arief tercatat dua kali dikenai sanksi ringan berupa teguran lisan terkait isu lobi politik terhadap pencalonan kembali dirinya sebagai hakim konstitusi. Sanksi tersebut merupakan kali kedua setelah pada 2016 ia diduga memberikan katabelece atau pesan pendek tertulis kepada mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono. Sehingga banyak yang mempertanyakan apa saja pertimbangannya mendapatkan Bintang Mahaputera itu apa. Bahkan Pengamat Hukum Andri W. Kusuma menilai pemberian Bintang Mahaputera itu berpotensi melanggar kode etik hakim dan akan mengganggu objektivitas hakim dalam memproses uji materi. Menurut Andri, hakim sejatinya tak boleh sembarangan menerima penghargaan atau bertemu dengan pihak-pihak yang berperkara. Ia khawatir pemberian penghargaan tersebut justru akan membuat independensi hakim terganggu.

            Namun meskipun begitu ternyata ada beranggapan bahwa enam hakim MK yang mendapat penghargaan tersebut tidak akan terpengaruh dalam memutuskan gugatan UU Cipta Kerja. Menurutnya, penghargaan tersebut merupakan bagian kewenangan Presiden Jokowi dengan ukuran dan proses penilaian yang objektif. Pemberian tanda kehormatan yang diberikan kepada enam hakim MK harus direspons secara proporsional. Penghargaan itu semata-mata merupakan penilaian objektif dari pemerintah yang menilai Hakim Konstitusi telah berjasa bagi negara.

            Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko juga sebelumnya menjelaskan bahwa pemberian penghargaan itu sesuai dengan Pasal 15 UU 1945 dan UU Darurat Nomor 5 Tahun 1959 yang mengatur tentang penghargaan bagi mereka yang memiliki jasa atas keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan NKRI. Ia juga mengklaim bahwa penghargaan yang diberikan Jokowi tak akan mengganggu independensi enam hakim MK tersebut. Moeldoko dengan tegas menyatakan bahwa Jokowi memberikan penghargaan tersebut atas kedudukannya sebagai kepala negara. “Pertanyaannya, apakah pemberian tanda kehormatan kepada para hakim MK itu tidak mengurangi independensi? Tidak, karena di sini posisi presiden selaku kepala negara dan kita me-reference beliau-beliau yang pernah mendapatkan Mahaputera,” kata Moeldoko beberapa waktu lalu.

            Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko pun mengatakan demikian, bahkan lebih eksplisit. “Bintang jasa yang diberikan Presiden itu tidak ada hubungannya dengan upaya membungkam, tidak ada hubungan dengan netral atau independensi,” ujar Moeldoko. Ia pun menegaskan pemberian penghargaan itu sesuai dengan Pasal 15 UUD 1945 yang dipertegas dalam UU Darurat 5/1959. “Presiden selaku kepala negara memberikan itu karena menjalankan konstitusi. Ada konstitusinya, ada dasarnya.”

            Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono menjamin enam hakim MK yang mendapat penghargaan tersebut tidak akan terpengaruh dalam memutuskan gugatan UU Cipta Kerja. Menurutnya, penghargaan tersebut merupakan bagian kewenangan Presiden Jokowi dengan ukuran dan proses penilaian yang objektif. “Insyaallah tidak akan mempengaruhi sikap dan pikiran Hakim Konstitusi dalam mengadili perkara,” kata Fajar kepada wartawan, Senin (16/11). Menurut Fajar, pemberian tanda kehormatan yang diberikan kepada enam hakim MK harus direspons secara proporsional. Penghargaan itu semata-mata merupakan penilaian objektif dari pemerintah yang menilai Hakim Konstitusi telah berjasa bagi negara. “Termasuk penilaian mengenai Hakim Konstitusi yang dianggap punya jasa luar biasa, termasuk di dalamnya karena dinilai berhasil menjalan kewenangan dan mempertahankan independensi,” kata Fajar.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Lainnya
Close
Back to top button