Artikel & Opini

Judicial Review, Benteng Akhir Mahkamah Konstitusi

Oleh : Wawang Dimas Saputra

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

Dalam beberapa waktu terakhir tentunya kita sering mendengar istilah judicial review atau pengujian Undang-undang. Dimana tata pelaksanaan tahapan perkara judicial review tidaklah mudah melalui berbagai proses mulai dari pengajuan permohonan, pemeriksaan kelengkapan, perbaikan permohonan, registrasi, penyampaian salinan permohonan dan pemberitahuan sidang pertama, dan lain sebagainya.

Pada dasarnya judicial review yang dilakukan oleh suatu badan kekuasaan kehakiman sebagaimana halnya di indonesia dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah merupakan suatu upaya melakukan intrerprestasi konstitusi. Dalam hal ini apabila dari hasil interpretasi menyatakan adanya pelanggaran konstitusional, maka undang-undang dinyatakan tidak dapat diberlakukan dalam arti dicabut dan tidak mempunyai daya laku yang mengikat. Melalui proses inilah kita akan mengetahui tafsiran hakim berdasarkan yurisprudensi dan pengamatan dari sembilan hakim konstitusi.

Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ditetapkan dalam pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 (perubahan ketiga) sebagai salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi.

berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No 24 Tahun 2003, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UU diatasnya yaitu UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tentunya hal ini perlu diperhatikan secara substansi, karena kewenangan Mahkamah Konstitusi hadir untuk memberi ruang yang sangat terbuka bagi siapapun yang berbeda pandangan dengan legislator rakyat yang dianggap tidak memihak kepada kepentingan rakyat secara luas. Maka dari itulah, hak konstitusional setiap masyarakat Indonesia direpresentasikan secara langsung melalui lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi.

Menurut pasal 51 ayat 3 Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang mahkamah konstitusi, terdapat 2 (Dua) macam pengujian undang-undang, yakni : Pengujian undang-undang secara formal (formele toetsing), dan PengujianPengujian undang-undang secara materiil (materieele toetsing).

Pada prinsipnya, pemohon judicial review adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang yang termuat dalam Pasal 51 ayat 1 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pemohon sendiri terdiri dari perorangan, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara.

Namun, apabila kita melihat dari sisi konteks berbangsa dan bernegara optimalisasi judicial review belum menemui jalan yang maksimal. Seringkali, kita melihat kondisi permohonan sampai kepada tahap perbaikan, permohonan gagal ditengah jalan atau menemui jalan buntu dan bahkan muncul gugatan tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (NO) akibat gugatan tidak memiliki dasar hukum yang kuat, dan sebagainya.

Meskipun sudah seringnya dilakukan sosialiasasi, pekan konstitusi, temu muka dengan publik secara hand in hand sudah masif, dan yang terbaru ini adalah seminar yang dilakukan secara online, tetapi praktek di lapangan masih banyak sekali ditemukan kasus kurangnya informasi terhadap penyelenggaraan berbangsa dan bernegara dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi.

Dalam hal ini apabila kita menilik lebih jauh, peran Mahkamah Konstitusi dalam sebuah putusan bersifat final dan mengikat adalah mendorong jika diadakannya amandemen atau perubahan UU, proses politik akibat terjadinya pemilihan umum, dan putusan MK yang berkaitan dengan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur didalam UUD 1945 akibat dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang luas inilah seharusnya menjadi tolak ukur untuk melindungi segenap bangsa dan rakyat Indonesia. Mengapa ditafsirkan demikian?

Karena memang sudah menjadi tugas Mahkamah Konstitusi untuk menjadi pilar yang kokoh bagi para pemohon untuk beradu nasib mengeluarkan legal Opinion sehingga tidak menghasilkan pemutar balikan fakta di ranah keadilan. Sifat inilah yang perlu dijaga agar wibawa Mahkamah Konstitusi tetap berada di dalam jalurnya.

Ukuran keadilan tidak bisa diprediksi, tetapi bisa ditimbang dengan adanya beragam kasus produk revisi UU yang tengah mengancam negeri ini. Pada saat sekarang keberpihakan Mahkamah Konstitusi sedang dipertanyakan, tetapi bentuk itu merupakan bagian dari check and balances sebuah lembaga.

Memang Wajar-wajar saja jika publik mempertanyakan kelayakan dan independensi ini, namun semuanya untuk satu tujuan bersama yaitu memperkokoh dinding sembilan pilar konstitusi yang berdiri tegak mengawal proses demi proses sistem peradilan di Indonesia khususnya Mahkamah Konstitusi.

Dengan maraknya pemberitaan revisi UU yang menarik polemik akhir-akhir ini, banyak diantara kita bertanya-tanya bagaimana nanti penyelesaian RUU yang sedang digodok di DPR dapat berjalan semestinya?. Jawaban itu muncul di Mahkamah Konstitusi untuk memperkokoh benteng peradilan melalui proses judicial review.
Mengacu kepada adagium “salus populi suprema lex” atau keselamatan rakyat itu adalah hukum tertinggi suatu negara. Hal ini memperbaiki bahwasanya konstitusi harus memikirkan keadaan rakyat secara adil dan merata tanpa melihat ambisi sebuah lembaga untuk tetap berada pada jalur yuridis tanpa politis. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi harus menjadi lembaga kredibel dan terpercaya untuk secara konsisten adil mengawal setiap judicial review tanpa terkecuali.

Pada saat sekarang terdapat wacana yang mengusulkan agar pengujian di Mahkamah kontsitusi tidak sebatas undang-undang tetapi juga bisa dilakukan terhadap Rancangan undang-undang (RUU) yang tengah dibahas di DPR. Tentunya menguji terhadap Rancangan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.

Dalam hal ini dengan adanya revisi UU bukan untuk sebagai sarana melemahkan atau menguatkan, tetapi dalam hal ini peran Mahkamah Konstitusi yang diwakili oleh sembilan hakim Mahkamah Konstitusi untuk ikut menentukan arah bangsa Indonesia melalui sidang akhir sebuah putusan apakah putusan diterima atau ditolak. Namun, bahwasanya lebih besar dari itu untuk menghadirkan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. Oleh karena itu, hak konstitusional tidak boleh dirusak dan bukan hanya sekadar anggapan belaka namun secara garis besar perlu diperjelas dengan harapan akan diperolehnya supremasi hukum.

Sudah sejak tahun 2003 Mahkamah Konstitusi berdiri, dengan segala hiruk-pikuk peradilan yang dipenuhi pro-kontra keadilan. momen inilah saat yang tepat untuk kembali menjaga lambang dan nama baik Mahkamah Konsitusi sebagai benteng keadilan terakhir negeri ini.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button