Eksistensi Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia
Oleh : Chici Agustin
( Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bengkulu )
Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaran Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Menurut Pan Mohammad Faiz Kusumawijaya, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraaan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjai dari aspek waktu, negara Republik Indonesia tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi, sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial.
Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama tinggi dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature). Kedua mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah dan berbeda sama sekali satu sama lain. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi sebesar Mahkamah Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer. Meskipun tidak secara persis, Mahkamah Agung dapat digambarkan sebagai puncak peradilan yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang per orang ataupun subjek hukum lainnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan orang per orang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Perkara- perkara yang diadili di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyangkut persoalan- persoalan kelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut kepentingan umum yang luas ataupun berkenaan dengan pengujian terhadap norma-norma hukum yang bersifat umum dan abstrak, bukan urusan orang per orang atau kasus demi kasus ketidak- adilan secara individuil dan konkrit. Yang bersifat konkrit dan individuil paling-paling hanya yang berkenaan dengan perkara impeachment terhadap Presiden/Wakil Presiden. Oleh karena itu, pada pokoknya untuk memudahkan pembedaan, Mahkamah Agung pada hakikatnya adalah ‘court of justice’, sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah ‘court of law’. Yang satu mengadili ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan, sedangkan yang kedua mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu sendiri.
Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersifat independen, baik secara struktural maupun fungsional. Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran instansi lain. Hanya saja, sesuai dengan hukum administrasi yang berlaku umum, ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja kesekretariat-jenderalan dan kepaniteraan serta administrasi kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap terikat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu.
Pada pokoknya, pembentukan Mahkamah Konstitusi perlu dilakukan karena bangsa kita melakukan perubahan mendasar atas UUD 19459. Dalam rangka Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat UUD 1945, bangsa kita telah mengadopsikan prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan ‘checks and balances’ sebagai penggganti sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya. Dengan perubahan tersebut, prinsip negara hukum yang dianut dipertegas dengan (a) diaturnya mekanisme penegakan hukum dimulai dari penegakan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Sebagai akibat perubahan itu, (b) dipandang perlu untuk diadakan mekanisme guna memutus sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenangannya ditentukan dalam UUD, (c) perlu dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip ‘majority rule’. Karena itu, fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dikaitkan dengan fungsi MK. Di samping itu, (d) juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul yang tidak dapat diselesaikan malalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa hasil pemilu dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik.
Dalam rekruitmen hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi berhubungan erat dengan 3 (tiga) lembaga negara yang sederajat, yaitu: Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung. Dengan adanya keterlibatan ketiga lembaga negara yang mencakup cabang kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif tersebut dalam rekruitmen hakim konstitusi dapat dijamin adanya keseimbangan kekuatan antar cabang-cabang kekuasaan negara tersebut dan sekaligus pula menjamin netralitas dan imparsialitas MK dalam hubungan antar lembaga negara. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, apalagi terkait dengan kewenangan mengadili perkara sengketa lembaga negara, posisi imparsial MK ini mutlak diperlukan, karena itu rekruitmen hakim konstitusi tidak hanya melibatkan satu cabang kekuasaan, tetapi ketiga cabang kekuasaan itu sekaligus. Bahkan, dalam proses pembinaan perilaku etik para hakim konstitusi, ketiga cabang kekuasaan itu, yaitu Presiden, DPR, dan MA tetap dilibatkan, yaitu apabila ada dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim konstitusi, maka komposisi 5 orang anggota Majelis Kehormatan Hakim diisi pula oleh anggota majelis yang berasal dari usulan Presiden, DPR, dan MA masing-masing 1 orang. Dengan demikian, pengawasan etik hakim konstitusi dilakukan secara semi ekstrernal yang menjamin efektifitas, independensi, dan keterpercayaan.